Bismillahirahmanirrohiiiim J
Tak bermaksud apa2, hanya ingin menulis sebuah cerita *fiktif* saja…
-::-Sosok Tegap itu Membuat Aku Kagum-::-
Ku tulis utuh cerita ini, baca sampe selesai y ^^
***
Episode (1)
Aku mnatap malu pd s0s0k yg kini ada d hadapanku, ku tata sbaik mungkin susunan kata-kata yg hendak ku utarakan, namun pd akhirnya hnya satu kata yg keluar, "iya..." anggukku kikuk, sambil tanganku menerima pr0p0sal kegiatn yg tlah slesai d periksa dan d tandatangani.
Dan s0s0k tegap itu segera brlalu setelah mengucpkn kata "syukr0n..." yg artinya trimaksih.
Cukup hanya itu, dan teman ku yg menemani ku hanya 'melongo' heran melihat interaksi kami yg seperti org musuhan. Maklum temanku bukan dari k0munitas jilbaber, karena dulunya aku jg seperti tmnku itu. Alhmdulillah, hidayah Allah berkenan menyapa ku lebih dulu d bandingkan shbtku ini dan mudah-mudahan hidayah Allah jg akn menghampirinya.
---
Tatapanku trus mengikuti stiap gerak dr s0s0k tegap yg sedang berjalan lurus menuju mushola fakultasku. Hmm, tanpa t0leh kiri kanan, trus saja menunduk guna menjaga pandangnnya dengan langkah kaki yg cepat. Semakin kagum saja pd s0s0k tegap itu. Tentu s0s0k tegap itu sangat pantas mendapatkn pendamping yg juga mampu menjaga pandangannya, dan itu bukan aku. Aku menc0ba tersenyum, mengaguminya dari kejauhan seprti ini pun sudah cukup.
---
Masih d sini,
menatapmu dlm kejauhan yg berjarak..
Mengawasimu, dlm kdiaman yg tak berujar..
Mengucapkn salam, dlm kbisuan yg tak bersuara..
Tersenyum, dlm kbekuan yg tak tercairkan..
Masih d sini,
menikmati stiap gerak-gerikmu dlm waktu yg sama namun tempat yg berbeda..
Masih d sini,
hingga nanti punggungmu tak nampak lagi d pandangku..
Masih d sini,
sampai senja mengusir, menyuruhku utk pulang..
Masih d sini,.
Cukup bagiku seperti ini..
Mengagumimu dlm kerahasiaan hati..
Tenanglah, aku takkan merusak hatiku dan hatimu..
Kan ku simpan sebaik mungkin..
Ku gemb0k dan ku buang kuncinya..
---
Di balik hijab, suara itu benar-benar membuat aku gugup. Tak mampu berkata, tertahan smua kata yg sebenarnya hendak keluar. Dan hiasan kaca keristal d mata ku kini harus terpecah karena sentuhan pelan dari jemariku.
"Bagaimana dek jawabannya?" tanya mbak ku pelan sambil menyentuh lembut jemariku yg sedari tadi tergenggam dingin.
-10menit dalam kediaman-
"Mungkin butuh waktu untuk brfikir, kami dari pihak ikhwan memberikan wktu 3hari kalau memang perlu wktu utk brfikir... Jgn trlalu trgesa2..." jelas sese0rg dari balik hijab, dan ku yakini itu suara dari pendamping si laki-laki.
---
Sos0k tegap itu kmbli membuatku kikuk, bahkan smakin berdebar-debar saat ku mulai memberanikan mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk kaku, kini mencoba menatap matanya, akhirnya... dalam iringan Kristal-kristal bening dari mataku, ku sambut jemarinya dan sebagai tanda h0rmat dan patuhku, ku cium punggung tangannya. Ikrar akad ini tlah mengikat kami, yaaa… aku dan s0s0k tegap yg dulu hanya mampu ku kagumi dari kjauhan, kini ada d dekat ku :)
***
Episode (2)
Aku trdiam sendiri, menikmati stiap detik kesunyian, hnya suara detak jam yg sedari tadi berirama tratur. Tak lepas mata ku memandang jam dinding itu, hadiah dari salah satu sahabatku d pernikahanku waktu itu.
Hmm, 5 tahun sdh wktu brjalan, dan jam itu msh tampak cntik brtengger d sana.
"Belum tidur sayang?" tnya s0s0k tegap itu mendekatiku.
"Gak bisa tidur bi..." jawab ku pelan.
"Kenapa? Ada masalah ya d kantor, atau lagi banyak kerjaan" tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan. Ia mendekati dispenser dan kembali mendekati aku dengan dua gelas berisi air putih, d sodorkannya satu gelas untukku, hmm… gelas mama-papa yang cantik dan ini pun juga merupakan hasil hadiah dari pernikahan kami.
"Bi, Abi nyadar gak sih klo pernikahan kita sdh memasuki thun ke-5... Tp, istana kecil kita msh saja sepi dr suara lucu anak-anak..." ucapku tertahan. Ku tatap lekat s0s0k tegap di hadapanku ini yg selalu berhasil membuat aku terus mengaguminya hingga sekarang, ia tersenyum lembut dan menyentuh jemariku pelan.
“Bi……” kataku tergantung.
"Allah baru meminta kita untuk bersabar selama 5tahun, insyaAllah akn indah pd wktuNya" balasnya sambil mengusap rambutku pelan. Selalu kalimat ini yang ia katakana setiap ‘rengekan’ku kambuh.
---
"Menikahlah kembli..." ucapku lirih. Aku tak mampu memandang wajahnya kini, hanya mampu trtunduk takut. Aku sadar, ksalahan ada padaku, dan dia berhak utk menikah lagi krna aku tak mampu membrikan dia kturunan. Slama ini, dia dan kluarganya sudah trlalu baik padaku. Tak pernah skali pun menyinggung tentang hal ini. Hmm, harusnya aku yg sadar diri.
"Menikahlah lagi bi, carilah wnita sh0lehah yg baik dan sehat yg mampu memberikanmu kturunan..." ucapku lagi dlm tangis tertahan. Bismillah.
"InsyaAllah... Aku akan bahagia bi... Menikahlah kembali..." ucapku dengan jelas dan tersenyum walau ku tahu ini senyum terhambar yang pernah ku perlihatkan padanya. Dalam ktertundukan ku d hadapannya. Ku simpan tangis ku sebaik mungkin agar tak terpecah d hadapannya. Bercmpur sudah segala perasaan ini, ada perih yg teramat perih dari sayatan tajam kalimatku sendiri. Ikhlaskah hati jika harus trbagi cintanya nanti. Ikhlaskah hati jk trcantum nama lain d hatinya nanti. Ikhlaskah hati... Ya rabb, sungguh aku berlindung dari sikap keegoisanku.
Aku wanita biasa yg cukup sadar diri akan kekuranganku.
Ku beranikan utk menatap matanya, ku tahan sekuat mungkin agar hiasan kaca d mata ini tak trpecah.
Namun apa yg s0s0k tegap itu lakukan padaku, ia kembali trsenyum. Lalu, meraihku dlm dekapan peluknya. Dan berbisik pelan k telingaku.
"Abi sayang ummi slalu... dan selamanya… Allah hanya meminta kita utk brsabar dan tetap bersabar... Allah ingin kita lebih lama menikmati hari-hari pacaran kita..." bisiknya lembut.
“Ingat kata Allah, jika kita bersyukur dengan nikmat apa saja yang telah Allah beri saat ini pada kita, maka Allah akan menambahkan nikmat itu lebih dan lebih… tetaplah bersyukur atas apa yang telah Allah takdirkan pada kita…” ucapnya pelan.
Pelan sekali kalimat itu sampai ketelingaku, sepelan aliran kristal bening yang kini menyusuri setiap lekuk wajahku.
***
Episode (3)
“Apa ini?” tanya sosok tegap itu dengan wajah bingung menatapku.
“Dia sahabatku” jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya, masih saja aku sibuk dengan rajutan di tanganku.
“Lalu maksudnya apa, kenapa ummi kasih lihat photonya ke abi?” tanyanya lagi masih dengan kebingungannya.
“Menikahlah dengannya… Ummi akan senang kalau abi menikahinya, ummi kenal dia dan insyaAllah dia wanita sholeha” jelasku sambil menatap matanya.
-Diam seketika-
Abi meletakkan photo itu di meja, lalu terdengar helaan nafas panjang darinya. Kini sosok tegap itu beranjak dari sisiku sambil melihat jam d tangannya.
“Abi ke masjid dulu ya, siap-siap mau adzan ashar” ucapnya berlalu, tanpa salam dan tanpa kecupan di keningku yang biasa ia lakukan setiap hendak keluar dari rumah ini, juga tanpa senyuman darinya.
Aku tahu, ini pasti membuat ia tersinggung dan marah. Tapi, mau bagaimana lagi, kalau pun mau ditanya siapa yang harusnya menangis pada posisi ini, jawabnya adalah aku. Tak mengertikah ia dengan perasaanku saat ini, 5 tahun bukan waktu yang sebentar untuk menahan rasa bersalah ini. Aku hanya ingin ia mendapatkan haknya, untuk mendapatkan keturunan. Aku tak mampu dan ia berhak untuk menikah lagi tanpa harus menceraikan aku.
Tidak, aku tidak boleh menangis, aku tidak boleh egois, caraku yang seperti ini sudah benar. Abi cocok jika dengan sahabatku dan mereka pasti akan mendapatkan keturunan yang baik. Ya, itu pasti. Dan kami akan hidup bersama dalam kebahagiaan. 4 tahun selama masa kuliahku dulu, aku hidup satu kost dengannya, dia sahabat yang baik dan menyenangkan, keluarganya pun juga baik. Pastinya ini akan menyenangkan untuk kami.
---
“Mi, kita masih bisa mengambil anak asuh tanpa harus menyuruhku menikah lagi. Dan lagi, masih ada keponakanku Chia yang akan menemanimu, Ais adikku takkan keberatan jika chia tinggal beberapa hari bersama kita” bujuk sosok tegap itu kembali, saat aku mendiaminya seharian ini karena ia tak kunjung mengiyakan permintaanku yang kemarin.
Aku masih diam di depan laptopku, mencoba menahan segala rasa yang bercampur di dalam hati. Menahannya sekuat mungkin agar tak terpecah. Tertunduk, lalu aku matikan laptopku, ku tinggalkan ia begitu saja. Walau rasanya tak sanggup aku perlakukan ia seperti ini, tapi ini harus aku lakukan. Mengertilah bi…
Penuhilah permintaanku ini, aku janji takkan meminta apa-apa lagi darimu…
---
“Mbak…. Mbak… sadar mbak….” Terdengar samar suara panik yang ku rasa milik dari Ais. Ingin membuka mata ini, tapi terasa berat sekali. Hmm, ada apa ini. Ku lihat kini wajah panik Ais dan juga Chia yang duduk berjongkok d sisi kiriku.
“Mbak sudah sadar…?” tanya Ais cepat, ketika mataku sudah mulai terbuka menatap Ibu dan anak ini. “Jangan bangun dulu mbak, tiduran saja dulu” cegah Ais saat ku coba untuk menegakan tubuhku.
“Ada apa ini?” tanyaku heran, seingatku tadi aku sedang bermain dengan Chia. Ku lihat wajah cemas Chia yang tertahan menahan tangisnya, ku pegang lembut jemarinya. “Ummi gak papa kok” ucapku tersenyum. Ku lihat Ais ke dapur dengan tergopoh.
“Ummi tadi jatuh… trus gak bangun-bangun lagi…” ucapnya kini sambil terisak. Hmm, lucu sekali anak ini. Dia begitu mengkhawatirkanku, andai saja…
Ais datang dengan segelas air d tangannya. “Ayo mbak d minum dulu gih, dah ais buati air madu hangat, pasti mbak seharian ini gak makan ya….” Ucap ais penuh selidik, dengan cepatnya ia sodorkan gelas itu padaku. Dan dengan terpaksa ku terima, memang seharian ini aku belum memasukan sesuatu jenis makanan k dalam perutku, karena ini sebagai bentuk aksi protesk pada sosok tegap itu.
---
Aku tiduran d kamar, ais masih mencoba membujukku dengan sepiring nasi d tangannya dan dengan gelengan kuat ku tolak suapan darinya. Ku lihat wajah sedihnya melihat kondisiku yang seperti ini. Aku hanya diam membisu. Ku lihat chia hanya tidur-tiduran manja d sampingku.
“Mbak beneran yakin mau menyuruh abang menikah lagi?” tanya ais hati-hati. Ku balas dengan anggukan pasti.
“Hmm, mbak ikhlas?” tanyanya lagi dengan wajah lucunya.
Aku tersenyum, “Ikhlas itu masalah hati, cukup mbak dan Allah saja yang tahu. Dan yang berhak menyatakan seseorang itu ikhlas atau tidak hanyalah Allah yang Maha Tahu… kalau pun mbak bilang mbak ikhlas, itu belum tentu mbak ikhlas. Relakan semua dalam diam, cukuplah menjadi rahasia bagi hati dan Allah” jelasku lembut pada ais, ais hanya diam tak berkata.
---
Ku lihat sosok tegap itu telah berdiri d ambang pintu, menatapku penuh kekhawatiran. Chia yang menyadari kehadirannya langsung berlari mendekat dan menarik tangannya agar segera mendekat.
“Oh, abang sudah pulang?” tanya ais yang baru tersadar akan kehadiran abangnya.
“Iya..” jawabnya singkat. Matanya tak lepas dari melihatku, tapi hanya ku balas dengan wajah datarku. Ku raih bantal boneka yang ada d sampingku, ku sembunyikan wajahku agar tak terlihat oleh sosok tegap itu.
“Hmm… karena abang sudah ada, ais balik dulu ya bang. Kalau ada perlu apa-apa telpon ais aja, nanti ais ke sini lagi. Nih, bang dari tadi ais bujuki mbak untuk makan, tapi selalu gak mau. Abang paksa gih…” ucap ais pada abangnya, lalu memegang jemariku. “Cepet sembuh ya mbak, jangan mikiri yang macem-macem dulu deh” bisik ais pelan.
“Chia pulang ya mi… cepet cembuh, nanti maen ama chia lagi…” ucap chia lucu, d ciumnya pipiku lembut dan menyisakan senyum khasnya untukku. Hmm, semakin ingin ya rabb…
-suasana diam tak bersuara-
Aku masih mendekap bantal boneka ke wajahku.
“Ayo mi… makan dulu, nih abi suapin…” bujuk abi lembut. Tapi, aku hanya membalas dengan gelengan pelan, masih ku tutup wajahku dengan bantal boneka.
“Miii…..” terdengar suara abi agak meninggi. Ku jauhi bantal boneka dari pelukanku, ku tatap wajah capeknya, tampak ada wajah yang tak biasa ia perlihatkan kepadaku.
“Ayo makan” ucapnya sambil menyendokan makanan kearah mulut. Tapi, mulutku hanya tetap mengatup. Akhirnya tangisku pecah seketika. Ku ambil bantal boneka itu kembali aku tutupi wajahku. Terisak menahan tangisku agar tak terdengar keras.
“Jadi, mau ummi apa?” tanya abi pelan, terdengar sebagai nada yang menyerah pada keadaan saat ini.
“Um.. Ummi, pengen abi menikahi sahabat ummi itu… ummi pengen abi menikah lagi….” Ucapku d selingi dengan isakan tangisku.
-beberapa menit dalam kesunyian yang tak bergeming-
Tangisku sudah agak mereda, ku atur tarikan nafasku. Dalam lirih ku ucapkan istghfar sebanyak-banyaknya.
“Abi hanya tidak ingin, kalau nantinya ini hanya akan menyakiti hatimu sayang…” ucap abi mencoba mengingatkanku. Ku coba tuk menyakinkannya kembali kalau aku akan sangat bahagia jika memang benar-benar pernikahan itu terjadi. Dia shabat terbaikku, 4 tahun bukan waktu yang sebentar untukku mengenalnya, hidup bersamanya waktu masa-masa kuliah dulu.
“Dia wanita yang baik, sholeha lagi….” Jelasku memastikan dengan nada memelas.
“Oke, abi penuhi permintaan ummi. Tapi, jika nanti d kemudian hari, ternyata hanya akan mendatangkan kesedihan bagi ummi, maka ummi pun harus mengizinkan jika abi harus menceraikan sahabat ummi itu….” Abi memberikan persyaratan. Aku langsung mengiyakan dengan anggukan pastiku, yang terpenting sekarang abi mau. Aku takkan sedih, aku akan sangat bahagia, pasti bahagia hidup bersama dengan orang-orang yang aku cintai.
Langsung ku angkat tangan abiku, ku suruh ia untuk kembali menyuapiku. Aku makan dengan lahap, tak sabar rasanya ku sampaikan berita ini pada sahabatku dan ibunya yang telah lama menanti anaknya untuk menikah. Bahagia rasanya ketika kita mampu menghadiahkan kebahagiaan kepada orang-orang yang kita cintai.
***
Episode (4)
“Kamu yakin, menyuruh suamimu untuk menikahiku?” tanya sahabatku ketika aku bertamu ke rumahnya, menjelaskan semuanya. Ku lihat keadaan rumahnya yang begitu sepi karena memang hanya ada sahabatku, adiknya, dan ibunya yang telah tua. Aku begitu sayang pada sahabatku ini, adiknya pun sudah ku anggap sebagai adikku sendiri, apalagi ibunya yang selalu membagi rata sayangnya untukku dan sahabatku. Bahkan terkadang yang ku rasa ibu sahabatku ini labih memperhatikan aku ketibang sahabatku yang anak kandungnya sendiri.
“Aku sudah yakin… aku akan sangat bahagia sekali jika kau mau menerima pinangan dari suamiku, hari ini, aku datang kepadamu mewakili suamiku untuk mengkhitbahmu teman…” ucapku dengan sangat jelas, dengan senyuman terbaikku, berharap sekali kalau ia mau menerima permintaan ini. Tatapanku terus mencoba meyakininya. Ayolah sahabatku.
-suasana membeku-
Takku lihat senyumnya yang dulu yang selalu ingin mewujudkan setiap rengekan inginku, dia memang lebih dewasa daripada aku, cenderung mengalah saat kami sedang sama-sama bersikeras. Dia pula yang selalu menjaga aku, mengingatkan setiap tingkahku, dan hanya padanya pula aku menyimpan rasaku yang dulu pada sosok tegak itu. Dia tahu banyak tentang rasa cintaku pada sosok tegap itu, wajar jika dia agak sulit menerima permintaanku ini karena mungkin dia masih mengingat tentang pesanku dulu, kalau aku seorang yang pencemburu, takkan ingin membagi sayang yang ku punya pada orang lain. Ya, bisa dikatakan aku egois untuk hal ini. Hmm, tapi untukmu sahabat, insyaAllah aku takkan cemburu. Aku akan bahagia karena ada 2 orang yang ku sayang yang juga menyangiku nantinya, dan ini akan membahagiakan bagiku.
---
Hari ini, senyumku secerah mentari yang menyambut pagi. Ku lihat abiku yang semakin gagah dengan baju koko putihnya. Aku semakin mengagumi sosok tegap ini, terimakasih telah mewujudkan permintaanku.
Dan di ruang lain ku lihat sahabatku berbalut gamis putih nan indah. Cantik sekali. Senyumku semakin mengembang kala ia balas tatapanku dengan pelukan eratnya.
Waktu seakan berjalan melambat, syahdu kala senandung ayat-ayat cinta Allah d iramakan. Tak lepas jemariku dalam pelukan jemari sahabatku. Tenanglah hati, jangan berisik. Jangan gaduh, jangan berkata-kata, relakanlah semua dalam diam.
Relakan semua dalam diam...
Seperti diamnya ranting yg merelakan jatuhny dedaunan..
Atau_
Seperti diamnya bumi yg merelakn tubuhnya terhujami rintik hujan dr langit..
Atau_
Seperti diamnya senja yg merelakan kepergian s0re terjemput malam..
Atau_
Seperti diamnya malam yg merelakan gelapnya brganti cerah d pagi hari..
Atau_
Seperti diamnya hati yg merelakan rasa untuk tetap terpendam..
Atau_
Seperti diamnya waktu yg merelakan hari terus berganti..
Atau_
Seperti diamnya kata yg merelakan satuan huruf-hurufnya terhapus..
Atau_
Seperti diamnya mata yg merelakan air mata bertamasya keluar dr kelopak..
Atau_
Seperti diamnya awan yg merelakan ceria wajahnya berganti mendung..
Atau_
Seperti diamnya pasir pantai yg merelakan setiap butirnya trsapu 0mbak..
Atau_
Seperti diamnya diam yg merelakan suasana membeku dlm kdiaman..
Ya! Seperti diamnya mereka yg merelakan semuanya dlm diam..
Merelakan semuanya dalam diam, sebut ini ikhlas..
Cukuplah menjadi rahasia bagi hatiku dan Allah saja..
---
Aku mendampingi sang pengantin wanita berjalan keluar dari kamarku yang telah tersulap menjadi kamar pengantin yang indah. Berjalan beriring menuju sosok tegap yang telah menanti d sana. Hmm, teringat 5 tahun silam, kala aku yang melangkah mendekat ke arahnya. Kini posisiku bukan sebagai puteri cantik yang menghadap pada pangeran gagah, tapi hanya sebagai pendamping si puteri cantik dan pangeran gagah.
Ayo, tersenyumlah…inilah mimpi yang dulu ku inginkan. Sosok tegap itu mulai memasangkan cicin mungil itu ke jemari manis sahabatku. Aah…air mata ini hanya wujud dari rasa bahagiaku, bukan wujud dari rasa yang lain. Seperti adeganku 5 tahun silam, dengan pelannya sahabatku mulai mencium punggung tangan sosok tegap itu. Aku menunduk kaku, menahan agar kaca kristal dalam mataku ini tak tampak di pandang orang-orang. Tiba-tiba, sebuah pelukan erat menghujam tubuhku. Sosok tegap itu memelukku erat, dan terpecah sudah kaca kristal ini hingga berjatuhan menyentuh pelan wajahku. Dan pelukan kedua dari sahabatku. Lengkap sudah rasa bahagiaku, mendapatkan dua pelukan cinta dari orang-orang yang aku sayangi.
Terimakasih ya rabb… ini bukan air mata penyesalan, tapi ini air mata syukurku atas segala nikmat yang telah Engkau berikan padaku.
---
Suasana rumah telah kembali seperti biasa, para tamu pun telah lama pulang karena memang acara d gelar dengan sesederhana mungkin. Tak begitu banyak orang yang d undang, hanya keluargaku, keluarga dari abi, dan keluarga sahabatku, serta beberapa tamu dari tetangga sekitar rumahku.
“Mau ke mana?” tanyaku kaget saat melihat sahabatku hendak pamit kepadaku.
“Mau ngantar ibu pulang, sekalian ada beberapa barang yang mau ku ambil d rumah” jelas sahabatku.
“Naik apa?” tanyaku lagi sambil menyalami ibunya.
“Bareng mang ujang adiknya ibu, naik mobilnya” ucap sahabatku sembari tersenyum. “Mungkin sorelah ya aku baru balik lagi k sini” bisik sahabatku saat berpelukan padaku.
“Loh, abi mengizinkan gak?” tanyaku pelan sembari melirik sosok tegap itu yang sedari tadi berdiri d sampingku.
“Iya, gak papa kok” jawab abi datar. Dan kini sahabatku pun pamit kepada sosok tegap itu, masih ada rasa canggung ku lihat tingkah keduanya. Waktu akan membuat segalanya membaik. Ku gandeng sosok tegap itu agar mengikuti langkah menuju ke halaman, ikut mengantarkan sahabatku bersama keluarganya untuk pulang ke rumahnya.
“Hati-hati ya bu, semoga selamat sampe rumah” pesanku pada ibu. “Nanti sore, kami akan jemput ke sana” ucapku pada sahabatku, yang hanya d balasnya dengan anggukan pelan d sertai senyum termanisnya.
-1 jam setelah kepergiannya-
Aku sedikit pusing, sepertinya tenagaku lelah karena beberapa hari ini sibuk menyiapkan untuk acara hari ini tadi. Aku menuju kamarku yang begitu cantik terhias. Oh, aku tidak boleh beristirahat d sini, akhirnya aku istirahat d kamar tamu.
“Loh mbak, kok tiduran d sini?” tanya ais sedikit mengagetkanku.
“Gak papa, mbak gak nyaman saja kalau tiduran d kamar mbak dengan suasana meriah seperti itu” ungkapku dengan alasan yang sedikit ku buat-buat.
“Abang lagi ngapain ais?” tanyaku sebelum ais keluar.
“Lagi beres-beres d ruang tengah mbak d temani sama mas faris” jawab ais. “Mbak istirahat saja, sebentar lagi juga sudah beres kok” ucap ais mencoba menahanku saat aku mencoba hendak bangun dari tempat tidur. Dan akhirnya aku pun kembali mengistirahatkan tubuhku.
Hampir saja mau terlelap, tapi deringan telpon rumah yang juga tersambung pada telpon d kamar tamu ini memanggil untuk segera d angkat. Sepertinya sedang tak ada orang d ruang tamu, sehingga tak ada yang mendengar suara teriakan telpon ini, terpaksa ku panjangkan tanganku dan ku raih gagang telpon yang berada di sisi kanan dari tempat tidurku. Tanpa harus menyuruhku untuk berdiri, gagang telpon itu dapat ku raih.
“Assalamualaikum…” kuucapkan salam sebagai kata pembukanya. Tapi, tampak tergopoh suara dari seberang sana.
“Ya, ya… ada apa ini pak?” tanyaku cemas seketika dan langsung bangkit dari tempat tidurku, masih ada rasa pusing yang begitu berat d kepalaku. Tak ku rasa apa-apa lagi kini, seseorang telah menopang tubuhku agar tak terjatuh k lantai. Tidak mungkin, ini pasti hanya bagian dari mimpiku, ya… bukankah tadi aku sedang tertidur, ini pasti mimpi di alam tidurku.
Tapi, ku dengar samar-samar suara abiku yang langsung menyuruh ais menjagaku.
“Jaga mbakmu ya, biar abang dan faris yang ke rumah sakit sekarang!” terdengar samar, tapi aku dapat memastikan bahwa itu suara abi. Ada apa ini, aku ingin sekali membuka mata ini, tapi tak jua mampu, terasa terkunci kelopak mata ini.
-senjapun membuka mataku-
“Apa yang terjadi bi…” tanyaku langsung ketika pandangku menangkap wajah sosok tegap itu.
Di luar tampak ramai suara-suara orang bersenandung mengiramakan ayat-ayat Allah, tiba-tiba kepalaku kembali berkunang dan terasa mual yang begitu hebat saat ku coba untuk bangun. Dan akhirnya tubuh ini pun kembali tergolek pasrah d tempat tidur ini.
“Sabar ya sayang… semua kepunyaan Allah, kita harus ikhlas kalau pun Allah hendak mengambil kembali kepunyaanNya itu” bisik abi pelan sembari mengusap rambutku pelan.
“Apa yang terjadi bi…” tanyaku lagi. Dan penjelasan abi yang begitu singkat tentang kecelakaan yang telah terjadi pada sahabat dan keluarganya pun membuat aku kembali tak sadarkan diri. Terngiang kembali ucapan abi, “tak ada yang selamat”. Semua terasa gelap, mengantarkan tubuhku pada sebuah ruangan gelap menghitam. Ada sebuah layar yang sangat besar d hadapanku, terputarlah sebuah episode d mana aku pertama sekali bertemu dengan sahabatku itu. Tertawa dan menangis bersama, ada juga d sana memperlihatkan adegan kami yang sedang berdiaman karena selisih paham. Lalu, memperlihatkan aku dan sahabatku yang sedang melangkah bersama sehabis pulang dari kuliah. Ada juga d sana memerlihatkan aku sedang memperhatikan sosok tegap yang aku kagumi.. lalu berganti ke adegan saat aku memberanikan diri menatap mata sosok tegap yang begitu aku kagumi, saat ia resmi menjadi milikku. Lalu berganti ke adegan yang lain. Begitu seterusnya hingga membuat fikirku tak menentu dalam ruang gelap ini, hingga akhirnya aku terjatuh dalam ruang gelap yang begitu menghitam ini.
---
-1 minggu setelah kepergian sahabatku-
Ku tatap bingkisan cantik bersampul warna indah pelangi, sahabatku selalu tau apa yang ku suka, warna pelangi adalah warna yang ku suka. Pelan ku sentuh pita yang menghias d sudut bingkisan ini, tak ingin ku rusak sampulnya. Ku jumpai secarik kertas yang bertulis sederatan kalimat.
“Ini untukmu sahabatku, aku membuatnya sendiri untukmu.
Kau selalu baik padaku.
Dan sekarang pun kau masih saja baik padaku.
Jazakallah ukhtiku sayang, telah membuat ibuku tersenyum atas pernikahanku nanti.
Terima kasih… telah mengizinkanku untuk menggenapkan agamaku bersama suamimu.
Hmm, tak terbayangkan sebelumnya olehku, kalau cerita hidup kita akan seperti ini,
Aah, aku tak sabar lagi ingin kembali bercerita padamu, kembali kita akan ciptakan resep-resep makanan terbaik untuk abimu juga abiku… :)
Ukhtiku, aku ingin mengatakan sesuatu, sebenarnya… aku… sejak kuliah dulu, aku pun juga mengagumi sosok tegapmu itu, tapi, aku sangat takut mengganggu rasamu pada sosok tegapmu itu. Kau tau, setiap kali kau bercerita tentang sosok tegap itu, aku pun ikut merasakan rasa kagum yang kau rasakan. Dan kini, taukah kau… bahwa aku begitu bahagia sekali^^
Sekali lagi, maksiiiiiiiih ya sahabatku yang cantik, yang manis… :)
Hmm, dah dulu deh, dah malem ni… tak sabar rasanya menunggu hari esok.
Dadaaaaah ukhtiku sayang.. ana ukhibukifillah, semoga Allah senantiasa menjagamu dan melimpahkan banyak cinta untukmu… amiiin ^_^”
Tak sanggup ku tahan tetesan bening ini, sahabatku…
Ku peluk hadiah darinya, sebuah gamis cantik dengan warna ceria pelangi yang mendominasinya, hasil jahitan tangan sahabatku sendiri.
Ya rabb… berikan tempat terbaik bagi sahabatku ini, tempat terbaik d sisimu, dan pertemukanlah ia dengan jodohnya d surgaMu ya rabb.
***
Episode (5)
-1 bulan setelah kepergian sahabatku-
Gemetar rasanya aku menerima amplop putih ini, tak ingin banyak berharap, d dalamnya berisi hasil pemeriksaan dokter tiga hari lalu. Di temani ais dan chia aku kembali ke rumah, masih ku diamkan saja amplop yang 2 jam lalu d berikan seorang perawat kepadaku.
“Kenapa belum d buka mbak?” tanya ais yang penasaran dengan hasilnya.
“Hmm…. Paling-paling hasilnya negatif, mbak ini hanya kecape’an, mungkin beberapa hari lagi juga bakal datang tamu bulanan itu” ucapku datar tanpa ekspresi yang berarti.
“Yoweslah kalau gitu, ais langsung balik aja ya…” ucap ais pamit.
Ku lihat kembali amplop putih ini, ini merupakan amplop yang kesepuluh. Dan hasilnya pun pasti masih sama seperti amplop-amplop terdahulu. Ku letakkan begitu saja amplop ini d atas meja kerjaku.
---
Sehabis sholah ashar, aku sibuk mengupas buah, sebagai temanku dan abi nanti yang kan menemani kami menikmati senja sore ini. Hmm, abi belum jua pulang dari sholat ashar di masjid yang berjarak tak begitu jauh dari rumah kami. Kulanjutkan saja memilih-milih buah yang hendak ku kupas lagi. Tak lama kemudian, sebuah pelukan dari belakang tiba-tiba mengejutkan aku.
“Aduh abi….. buat kaget aja…” ucapku sambil menghadiahkan sebuah senyum manyun untuknya. Ku lihat ia hanya tersenyum dan tak mau melepaskan lingkaran kedua tangannya dari pinggangku.
“Mi…. abi sayang ummi” bisiknya pelan. Wah, ada apa ini, kok tiba-tiba jadi bersikap manja seperti ini. Ku coba melepaskan lingkaran tangannya, dan aku pun berbalik menghadapnya. Menatap matanya, mencoba mencari tau tentang sesuatu apa yang telah membuat wajah abiku seceria saat ini.
“Ini untuk ummi” tiba-tiba, sosok tegap itu menghadiahkan ku sebuah bingkis kecil kado. Aku kembali tertegun menatap matanya.
“Hadiah dari abi… ayo d buka” ucapnya sembari tersenyum lebar.
“Hadiah untuk apa?” tanyaku bingung, ku coba ingat-ingat tanggal berapa hari ini.
“Ouwh!... abiiiiiiiii….. afwan, ummi lupa, barakallah fii umrik ya bi….” Ucapku dan langsung memeluknya kembali. Aku benar-benar lupa, hari ini, hari lahir sosok tegap itu.
“Gak papa mi, sekali-sekali abi yang kasih hadiah tuk ummi, ayooo… d buka dong” pintanya.
Ku buka pelan bungkusnya, ah, apa ini. Satu gulung kertas, yang di ikat dengan pita seadanya, apa mungkin abi nulis surat cinta untukku, hmm… sulit di percaya. Akhirnya ku masukkan kembali gulungan kertas itu tanpa ku buka terlebih dahulu.
“Loh kok d masukin lagi, di baca dong….” Pintanya lagi, menyuruhku agar segera membaca tulisan yang terselip dalam kertas itu.
“Nanti ajalah bi…” ucapku sambil tersenyum, karena aku hanya ingin menikmati setiap bait tulisan cintanya dalam kesendirian.
“Sekarang!” paksanya.
“Hmmm…. Ya deh, ummi buka nih” ucapku sembari ku buka pelan ikatan pitanya.
-5 menit dalam keheningan-
Aku tak berkata apa-apa, terasa waktu terbekukan sesaat. Entah ku sebut apa ini namanya, ingin sekali berteriak sekuat-kuatnya, menangis sejadi-jadinya. Ngilu rasanya setiap persendian kaki ini, hingga aku berlutut dan akhirnya melakukan sujud syukur, masih dengan secarik kertas yang ada di genggaman jemariku, dan tangisku pecah dalam sujud syukur kebahagiaanku dan abiku.
Kertas ini tak berisi bait cinta dari sosok tegap itu. Tapi, satu yang paling membuat aku bahagia dan mempersembahkan sujud syukurku pada sang rabbku tercinta, sebuah tulisan yang mencantumkan nama lengkapku disana, menuliskan bahwa aku telah positif hamil dan usia kandunganku kini telah menginjak 40 hari.
“Subhallah……” ucapku lirih.
“Allah takkan akan menguji, di luar dari kesanggupan hamba-hambaNya… Sungguh, Allah Maha Tahu, sedang kita tidak mengetahui apa-apa….” Bisik sosok tegap itu dan memelukku.
Kembali, sosok tegap itu membuat aku kagum.
*the end*
Alhamdulillahhirabbil’alamiiin, selesaiiii ^__^
Jika berkenan... Silahkan tinggalkan komentar….
^ug.1188^
Nice story. Ditunggu bukunya..:)
BalasHapus