Minggu, 01 Januari 2012

Ketika Ia Minta Izin #POLIGAMI


-Abi-

"Pernikahan itu, jika Abi analogikan seperti abi dan ummi yang sedang mengarungi sebuah perairan panjang tuk menuju ke sebuah muara, yaitu muaranya Sang Rabb tercinta. Kita berjanji atas nama kesucian cinta pernikahan kita tuk sama-sama meraih rihdo Allah. Berdua dengan sebuah sampan kita dayung bersama tuk menuju muara-Nya..." terdiam sejenak.
"Tapi... di awal perjalanan, kita begitu menikmati perjalanan dengan cinta kita, hingga di pertengahan jalan pun, kita bertambah asyik dengan cinta kita. Kita sedikit lupa atau memang benar-benar lupa dengan tujuan awal kita mengarungi perairan ini..." sejenak menarik nafas.
"Ummi masih ingat sebuah hadist yang isinya tentang betapa cemburunya Allah pada kita, jika kita lebih mencintai sesuatu atau seseorang lebih daripada cinta kita pada Allah?" pelan Abi bertanya.
"Abi tidak ingin cinta Ummi pada Abi jauh lebih besar dari cinta Ummi pada Allah. Abi ingin, Ummi seperti dulu sebelum Ummi mengenal Abi, ketika itu Ummi tidak mencintai Abi kan? tidak menganggap Abi begitu istimewa. Abi ingin, Ummi kembali meletakkan cinta pada Allah lebih di atas cinta segala-galanya" menatap penuh ketulusan.
"Abi berujar seperti ini, bukan berarti Abi tidak mencintai Ummi. Abi mencintai Ummi karena Allah. Mencintai Ummi, lebih dari yang Ummi tahu" pelan menyentuh jari-jemarinya.
"Abi tahu ini berat bagi Ummi. Tapi, cobalah Ummi ingat tujuan awal sebuah pernikahan adalah hanyalah untuk meraih ridho Allah. Perumpamaan sampan tadi, jika ternyata kita menerima penumpang lain di sampan kita dengan tujuan muara yang sama, bukankah dengan bertambah satu penumpang itu artinya akan mempercepat laju sampan kita menuju ke muara-Nya. Iya kan Mi...?" tak sanggup menatap sang mata yang mulai rintik satu persatu.
"Ummi kenal dengan beliau, juga kenal dengan almarhum suami beliau. Tentu Ummi pun tau pasti tentang alasan apa yang melatarbelakangi Abi mengajukan sebuah keinginan ini" semakin tak sanggup menatap raut wajahnya yang makin mendung.
"Ini proposal beliau, apakah Ummi mengizinkan Abi untuk melanjutkan proses ini?" sebuah pertanyaan terucap dengan penuh kehati-hatian.


-Ummi-

Apa yang mesti ku jawab, bagai arus tsunami ku rasa kini, yang air bah-nya telah menghempas ke sana-ke mari ruang hatiku. Telah memporak-porandakan hatiku. Lebih dari mendung yang ku rasa kini. Jika pun bisa berteriak sekuat suara petir atau halilintar mungkin akan ku lakukan itu. Tapi, hanya diam yang dapat ku lakukan kini. hanya sebuah tetesan bening yang dapat ku wujudkan dari rasa ku kini.
Apa ini. Mimpikah aku?!
Baru berselang tahun keempat aku mengenalnya, mencintainya sepenuhnya, meleburkan hidupku bersamanya, memberikan semua hatiku padanya, sepenuhnya mengabdi padanya. Masih kurangkah?
Rasanya baru hari kemarin ia memintaku pada orangtuaku, baru hari kemarin ia dengan lantang mengucap janji setianya padaku di depan penghulu, orangtuaku, juga seluruh saksi yang hadir.
Baru hari kemarin, ia tersenyum padaku, menghapus setiap tangisku, menghalau setiap takutku.
Baru hari kemarin, kami merancang peta hidup kami berdua, hanya berdua.
Lalu, ada apa dengannya hari ini.
Selepas Lail tadi, ia masih berkata mesra padaku.
Selepas shubuh tadi, ia buatkan aku segelas susu saat aku sedang bermain-main dengan bidadari kecil kami.
Lalu, mengapa pagi ini, ia tega menciptakan tsunami dalam hatiku.
Adakah yang salah denganku selama ini?
Dua lember kertas kini berdiam manis di antara jemariku, berisi biodata singkat seorang akhwat yang sungguh aku telah mengenalnya dengan cukup baik, juga tentang kehidupan sang akhwat saat ini.
Tak hendak ku robek atau ku buang, tapi juga tak hendak ku lihat dan ku baca. Masih diam.
 ---
Satu hari berlalu, dua hari terlewat, tanpa ada tanya lagi darinya tentang inginnya yang lalu. Ia bersikap biasa, seperti tak terjadi apa-apa. Ia masih ikut bermain bersama saat aku dan bidadri kecilku bersenda gurau. Ia masih membuatkan ku susu juga untuk bidadari kecilku. Ia masih bercerita tentang apa saja yang terjadi seharian tadi di kantor, sebelum kami sama-sama terlelap dalam mimpi kami masing-masing. Ia juga masih membangunkan aku di sepertiga malam, juga masih maminta doa yang sama. Ia masih Abiku yang dulu. Sedang aku, berusaha sembunyikan hati yang retak akibat terjangan tsunami kemarin.
---
Sekilas memori lalu tiba-tiba Allah hadirkan kembali dalam mimpiku.

"Subhanallah sekali ya beliau itu, padahal anaknya masih kecil-kecil loh, tapi beliau tetap tegar mengahadapi cobaan hidupnya" seorang yang tak ku kenal tiba-tiba berujar di hadapanku.
"Bi, kasihan ya sama mbak itu. Selepas almarhum suaminya meninggal, gak taunya dua minggu kemudian anaknya yang bungsu juga ikut menyusul abinya. Waktu di majelis pengajian ummi kemarin, ustdzahnya ummi kan teman akrabnya beliau, ustdzahnya ummi cerita mengenai beliau, duh bi sedih banget. Kalau ummi di kasih cobaan seperti itu, sepertinya ummi gak kan sanggup" ku dengar ucapanku bergema dalam telingaku.
"Semua hanya titipan dari Allah, suami, anak, harta, semuanya milik Allah, jika Allah berkehendak tuk mengambilnya dari kita, apa mungkin kita bisa menolak, atau mungkin kita marah-marah sama Allah"

Hingga akhirnya aku pun tersadar. Semua hanya titipan, suami, anak, harta semuanya milik Allah.
Milik Allah, tentu aku tak berhak memiliki Abi sepenuhnya. Abi juga milik Allah, jika Allah berkehendak untuk Abi menikah lagi, mengapa aku harus bersikap egois seperti ini, seakan-akan Abi hanyalah milikku, punyaku seorang, astghfirullah...
Dan lagi, aku yakin, Abi menikahinya bukan karna fisik atau harta beliau, tapi karena agama dan juga karena Allah.
---
Senja ini kan jadi saksi tentang ucapanku kini.
Bersama bidadari kecilku yang tertidur pulas dalam pangkuanku.
Duduk bersampingan dengannya.
Entah kekuatan dan keyakinan dari mana, akhirnya ku jawab juga pertanyaannya yang dulu.
Ia sedang bernyanyi pelan. Salah satu kebiasaannya yang ku suka, walau dengan suara yang pas-pasan, tapi tetap merdu di telingaku, ia sangat suka menyanyikan lagu 'Dialog Dua Hati' untukku.
Dan aku selalu menangis saat ia menyanyikannya untukku.
"Bi..." ku panggil pelan beriring senyum ku sapa ia. Ia terus saja bernyanyi.
"Lanjutkan lah proses yang kemarin" aku kembali tersenyum padanya. Ku lihat ia terdiam.
"Entah mengapa, ada ketengan tersendiri yang kini Ummi rasakan. Ummi yakin, Abi gak akan berubah. Ummi juga percaya niat Abi menikahi beliau juga karena Allah bukan karena yang lain" ucapku pelan.
Genggaman tangannya membuatku kembali sadar akan tujuan awal pernikahan kami, ridho Allah.

---


ini hanya sebuah tulisan biasa, tak ada maksud apa-apa.
entah mengapa, aku selalu tertarik untuk menulis cerita yang bertema tentang 'poligami'.
juga selalu berempati pada kisah rumah tangga yang menjalani poligami.
wktu booming berita aa'gym menikah lagi, wah heboh semua kalangan masyarakat berkomentar, juga beberapa kelompok ibu-ibu ada pula yang tega menghujat aa'gym, mendadak majelis yang ada aa'gym sebagai pengisi yang biasanya ramai menjdi sepi.
tentu kita tak ada hak untuk 'berkomentar' panjang toh yang menjalaninya aa'gym. Yang tau alasannya juga hanya beliau.
okelah, kisahnya juga tlah lama berlalu, sebagai muslim yang baik, mari kita saling mendoakan.
terkait kisah fiktif di atas, fenomena saat ini yang sering terlihat dan di rasa. Ada beberapa pasang suami-istri, yang setelah menikah biasanya begitu saling cintaaaaaa banget (yah! wajar dooong! *hehe, jangan tersinggug) hanya sekedar mengingatkan jangan terlalu berlebihan ketika mencintai pasangan kita (kan Allah tidak suka sesuatu yang sifatnya BERLEBIHAN). 
beberapa waktu lalu, pernah terbaca status fb seorang akhwat yang yah baru sebulanan lah menikah, di tulisan statusnya itu (maaf) rada lebay dikitlah... "aku rindu, aku tak butuh obat, aku hanya butuh kamu di sampingku, aku tak bisa jauh darimu, betapa aku sayang kamu" (hhhmmmm... kenapa yah, beberapa ikhwan-akhwat mendadak jadi pujangga dan pujanggawati 'lebay' ba'da menikah. Terus juga kadang suka obral kemesraan di fb).

Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan, suatu saat dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/28] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin itu merasa cemburu, sedangkan Allah lebih besar rasa cemburunya -daripada dirinya-.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/29] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)


*Afwan jika ada kata atau kalimat yang menyinggung. ini hanya sebuah tulisan biasa, di dedikasikan secara khusus buat saya pribadi dan secara umum untuk kalian semua ^_^v  

4 komentar:

  1. ^_^
    bagus untuk evaluasi diri. sungguh hebat dan keren jika ada seorang istri yang seperti itu. karena hal itu sungguh langkah.

    hmmm.... bagaimana iya kalau Greeny yang ada dalam posisi itu? akan kah engkau sama sperti itu. sbhanaullah hanya Allah lah yang tau mana yang terbaik buat kita.
    semoga kita menjadi orang2 yang bersyukur atas semua nukmatNya amin..

    BalasHapus
  2. :) thanks blue dah mampir k blog aq n berkomentar...
    Klo greeny yang d posisi itu... jawabannya, "ada deeeh! mau tau aja..." :p hehee...

    BalasHapus
  3. Suka deeh..sama tulisannya..

    BalasHapus